Oleh: Noor Huda Ismail
Kementerian Keuangan dalam pernyataan resminya menyatakan, Triyono Utomo, diduga terkait dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), sudah mengajukan pengunduran diri sebagai pegawai negeri sipil sejak Februari 2016.
Dari data Kementerian Luar Negeri, sejak 2014 tercatat ada tiga mantan pegawai Kementerian Keuangan yg berniat ber-“hijrah” ke Suriah: beberapa gagal di perbatasan Turki dan sesuatu orang berhasil menyeberang.
Sosok Triyono ini menjadi menarik karena ia lulusan Master of Public Administration di Flinders University, Australia, tahun 2009. Kenapa pengalaman belajar dan hidup di luar negeri seolah-olah tak berdampak positif pada pilihan hidupnya? Atau justru saat sekolah di luar negeri itulah radikalisasi tersebut menemukan momentumnya?
Radikalisme itu sebuah peristiwa yg sangat kompleks. Setiap orang yg teradikalisasi mempunyai pola yg nyaris tak dapat disamaratakan. Richardson (2007) dalam bukunya, What The Terrorist Want, menyodorkan teori bahwa radikalisme muncul ditandai dengan tiga hal. Pertama, seandainya ada individu yg merasa terpinggirkan. Kedua, seandainya kemudian individu ini menemukan komunitas yg mendukungnya. Terakhir, adanya ideologi yg membenarkan tindakan radikalismenya itu.
Sayangnya, teori peneliti Inggris ini sangatlah usang buat membaca masalah Triyono, kalangan terdidik di luar negeri yg kemudian kepincut pesona NIIS. Lagi pula, buat Triyono, bergabung ke NIIS bukanlah karena ia ingin menjadi teroris, melainkan ia ingin hidup baru dalam khilafahIslam. Meski ia pernah bekerja di pemerintahan, batinnya tersiksa karena melihat Indonesia tak berdasarkan Islam.
Profil lama pendukung ideologi NIIS di Indonesia pada paruh 2014-2015 biasanya diisi oleh kelompok yg terpinggirkan. Mereka itu misalnya penjual bakso dari Malang yg tergiur dengan iming-iming gaji tetap dan dijanjikan mulai dibayarkan utang-utangnya selama di Indonesia oleh perekrut. Atau dua mantan pendukung FPI Lamongan yg bekerja sebagai kuli panggul ikan yg nekat hijrah ke Suriah dengan pengharapan hidup lebih baik. Melihat profil mereka ini, kami harus berhati-hati menyampaikan bahwa faktor ideologilah penggerak penting mereka bergabung ke Suriah.
Namun, masalah Triyono ini bisa dibaca sebagai fenomena “puncak gunung es” radikalisasi di dalam tubuh pemerintahan yg harus langsung diurai secara serius meskipun sesungguhnya ini bukanlah fenomena baru. Masih ingat beberapa orang bersepupu yg bekerja di BPPT, terkait pelaku penting ledakan Hotel JW Marriott 2009? Mantan teknisi Garuda, yg adik dari otak kejadian yg sama? Dua desersi militer yg menjadi anggota jaringan teror Santoso di Jawa dan Poso? Atau juga mantan anggota polisi Jambi yg bergabung dengan NIIS? Hal ini jelas mengkhawatirkan.
Namun, Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi fenomena ini. Sekitar 70 aparat keamanan di Malaysia juga sudah bergabung dengan NIIS (Paremeswaran, 2015).
Munculnya sosok Triyono ini relatif baru karena ia pernah belajar di luar negeri, tetapi tetap saja mengalami “radikalisasi”. Radikalisasi di sini diartikan sebagai “secara perlahan-lahan mencari, mengambil, dan mempraktikkan pemahaman yg ekstrem atau berseberangan dengan pandangan arus utama” (Roy, 2002). Biasanya proses ini diikuti dengan sikap menarik diri dari kehidupan yg mereka anggap sekuler.
Dialog tata nilai
Keputusan Triyono keluar dari PNS mampu dibaca sebagai gejala awal radikalisasi. Namun, kegairahan individu buat mengamalkan ajaran agama Islam, seperti memelihara jenggot, bercelana ngatung, rajin shalat, menolak minuman keras, berkerudung lebar, bukanlah ciri radikalisasi.
Mengingat peliknya persoalan ini, negara harus menelisik radikalisasi Triyono, bahkan saat ia kuliah di luar negeri. Bagi siapa pun, tinggal di luar negeri itu adalah fase utama dalam hidup. Di ketika itulah terjadi dialog tata nilai dalam diri. Seorang aparat negara yg sama-sama pergi belajar ke Barat dapat jadi mulai sangat berbeda hasilnya seandainya mereka mempunyai field of experience (pengalaman) dan field of reference (buku yg dibaca) yg berbeda (Tversky, A & Kahneman, D, 1981).
Sayyid Qutb, mantan aparat negara Mesir yg kemudian menjadi aktivis Ikhwanul Muslimin, pernah belajar di New York dan Colorado, Amerika Serikat, beberapa tahun. Ia sangat kecewa dengan apa yg dia lihat, terutama kerusakan moral masyarakatnya. Maka, ia pun menulis buku, Ma’alim fi thoriq’ (Petunjuk Jalan). Buku inilah yg tidak jarang dilalap para aktivis Islam di semua dunia, termasuk di Indonesia, yg menjadi bibit anti Barat, tepatnya Amerika Serikat.
Sementara Muhammad Abduh yg juga aparat negara (hakim) dari Mesir justru gandrung dengan Barat saat ia belajar di Perancis. Ia pun berkata, “I went to the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but not Islam.” Yang dimaksud “Islam” oleh Abduh di sini adalah “nilai-nilai Islam”, seperti kebersihan, budaya antre, dan tradisi berpikir kritis yg gampang ia temukan dari orang Barat yg notabene mereka bukanlah Muslim.
Dari paparan di atas, sepertinya negara mulai melihat kemungkinan munculnya kelompok elite Indonesia yg belajar di luar negeri dan memilih jalan seperti Sayyid Qutb atau Triyono. Mereka pelajar cerdas, tapi gerah dengan tradisi hidup sekuler ala Barat, terutama AS yg hari-hari ini dipertontonkan oleh kebijakan bernuansa rasis dan bebal ala Presiden Donald Trump.
Atau barangkali mereka ini adalah potret WNI yg kaget kembali hidup di negerinya sendiri setelah lama tinggal di negeri dongeng mereka?
Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 3 Februari 2017, di halaman 6 dengan judul “”Musuh dalam Selimut” Negara”.
Sumber: http://nasional.kompas.com